Minggu, 27 Juli 2008

"Lembah Suci Thuwa, Dalam Sebuah Pengembaraan"

“Sesungguhnya Aku ini Tuhanmu, sebab itu tanggalkanlah kedua terompahmu, karena engkau telah berada di Lembah Suci Thuwa “ (QS. Thaha 20 : 12)

Lembah Suci Thuwa adalah pusat pendadaran bagi Jiwa-Jiwa yang diutus ke bumi untuk dapat mengenali misi hidupnya. Hidup dalam cinta dan kebijaksanaan, hidup penuh keseimbangan antara kehidupan batin dan kehidupan duniawi. Kehidupan penuh kesempurnaan.

Lembah Suci Thuwa adalah warisan bagi orang-orang yang haus akan Cinta dan Cahaya. Mereka yang telah dibangunkan dari tidur lelapnya, yang segera menyingsingkan selimut tebal keduniawiannya, untuk bangun di sepertiga malam. Mereka yang selalu siap menanggalkan terompah ke-aku-an, dan datang bersimpuh di mulut Gua Hirah - Jabal Nur untuk menyatakan ampunan. Melepaskan keangkuhan diri dan selalu belajar akan indahnya bercumbu seperaduan dalam bilik dengan Allah sang Maha Cinta.

Lembah Suci Thuwa adalah warisan keramat Ilahi, untuk mereka yang siap berjalan dalam kesadaran penuh akan keagungan Tuhan Semesta Alam. Mereka yang siap menjadi kembara dalam biduk bahtera dunia untuk mengais butir-butir mutiara yang tertutupi limbah dan sampah dunia. Ianya adalah pintu bagi para pengembara...., yang terus-menerus istiqomah mengarungi relung-relung Cahaya Ilahi (Nurun Ala Nurin). Dalam menyibak rahasia diri hingga tertambat dihati; sebuah kesempurnaan Cinta, harmoni dan keindahan; sebuah ketenangan dalam diam.

Inilah sebuah jalan sempurna dalam menempuh tujuan hidup, yaitu Allah Sang Pencipta. Tempat kembali yang Maha indah. Adakah jalan yang lebih baik selain ini? Lembah Suci Thuwa adalah tempat dimana kita mampu menemukan dan mengenali diri pribadi kita.

Ada sebuah keterangan yang mengatakan; bila anda mencari Tuhan keluar dari diri maka semakin jauhlah anda dari-Nya. Maka jalan terbaik adalah kembalilah menelusuri siapa kita dengan memulainya dari diri pribadi dan mengakhirinya pula dengan mengenal diri pribadi. Ingatlah keterangan yang mengatakan “Man Arafa Nafsahu Faqod Arafa Robbahu, Waman Arafa Robbahu Faqod Jahilan Nafsahu” Barang siapa yang mengenal diri pribadinya dia akan mengenal Tuhannya dan barang siapa yang mengenal Tuhannya maka akan bodohlah dia.

Jadi barang siapa yang telah mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya maka ia akan menyadari bahwa yang ada diseluruh jagad raya ini adalah perwujudan Allah, yang memiliki kebisaan, kepintaran, pengetahuan dan kekuasaan. Hanya Allah. Sedang diri kita hanyalah boneka yang tidak memiliki kemampuan apa-apa. Sebagaimana diterangkan “bukan kamu yang melempar tapi aku yang melempar, bukan kamu yang membunuh tapi aku yang membunuh, bukan mulutmu yang berbicara tapi aku yang bicara dan seterusnya”

Lembah Suci Thuwa juga memiliki makna yang hampir sama dengan bangunan yang dibangun Allah sejak manusia diciptakan (Baitullah=Rumah Allah), semakna juga dengan suasana dan kondisi diri manusia yang mencapai nafsu Mutmainah atau Masjidil Aqsa yang dikunjungi saat mikraj, yaitu Masjidil Aqsa yang hakiki. Perumpamaan-perumpamaan ini dibuat untuk memilih manakah diantara hamba Allah yang mau berpikir, yang mau merenungkan makna sesungguhnya dibalik perumpamaan yang ada.

“Tidaklah kamu perhatikan, bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik itu seperti pohon yang baik, akarnya teguh di bumi dan cabangnya menjulang ke langit” (QS. Ibrahim : 2)

“Sesungguhnya Kami telah menjelaskan berulang-ulang kepada manusia dalam Al Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan, lalu kebanyakan manusia menerimanya kecuali ingkar” (QS. Al Isra 17:89)

“Dan sesungguhnya kami adakan bagi manusia di dalam Al Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan jika engkau datang kepada mereka dengan membawa bukti, niscaya orang-orang kafir berkata, “Kamu tidak lain hanyalah orang-orang yang merusak”. (QS. Ar Rum 30:58)

Inilah informasi-informasi simbolis yang disampaikan di dalam Aquran. Semua makna itu adalah sama secara hakikat. Artinya bahwa semua informasi itu mengarah kepada suatu kondisi tempat, keadaan atau wujud yang ada dalam diri kita. Sebuah tempat, keadaan atau wujud yang harus kita kenali. Setelah kita kenali, mulailah mengarunginya. Karena dari sanalah kita akan merasakan sebuah perjalanan yang amat menakjubkan. Sebuah pengembaraan yang mengasyikkan. Karena kita akan menemukan diri kita yang sejati, yang tidak terkungkung oleh batasan ruang dan waktu. Tidak terikat oleh belenggu jasad. Tidak harus mengalami lapar dan haus serta keruwetan-keruwetan hidup lainnya.

Kita akan memulainya dengan merasakan segala sesuatu milik Allah. Ini bukan sekedar teori. Tapi kenyataan yang kita akan alami dan rasakan sendiri bila sudah mulai memasuki Lembah Suci Thuwa. Sebuah Lembah Suci yang ada sejak manusia ada, suatu tempat yang ada dalam relung terdalam diri kita. Suatu tempat yang hanya diperuntukkan bagi diri pribadi yang suci dengan Allah yang Maha Suci.

Kemudian kita akan merasakan keheningan yang maha hebat, keheningan dari angan-angan dan bayang-bayang hidup yang selalu bermunculan. Keheningan yang maha dahsyat ini membuat keharuan yang luar biasa. Mengapa demikian? Karena dengan gamblang dibukakan hijab oleh Allah, sehingga segala keburukkan dan kebaikan yang pernah kita lakukan tampak tanpa tedeng aling-aling lagi. Kita mengetahuai siap diri kita yang sesungguhnya.

Mulailah kemunculan suasana gelap yang mencekam, tetapi lama kelamaan kegelepan itu semakin lembut dan akrab. Hingga terbitlah sinar dilembah suci tersebut. Nur Cahaya yang mampu menyinari kegelapan. Nur Cahaya kasih dari Robbul izati, yang menyejukkan dan amat menentramkan. Nur Ilahi yang megah dan berkilauan, yang menggoda untuk terus ditelusuri dan diarungi secara intensif. Kegelapan yang ada otomatis hilang. Dan terbukalah hijab sedikit demi sedikit, sehingga tidak ada lagi rahasia yang tersembunyi. Inilah awal perjalanan dari sebuah pengembaraan panjang yang singkat serta mengasyikkan.

“Sesungguhnya Allah memiliki tujuh puluh ribu hijab (penghalang) berupa Cahaya dan kegelapan. Seandainya Dia membukanya, niscaya Cahaya Wajah-Nya akan membakar siapa saja yang melihat-Nya” ( Al-Hadist )

Perjalanan ini pernah diungkapkan oleh seorang Sufi yang menggambarkan tentang kembalinya garam ke samudra-lautan.

“Bertanya garam kepada laut...”Siapakah Aku?.. sambil tersenyum laut menjawab...datanglah kepadaku...! maka kau akan tahu siapa dirimu..” Sang garam pun kemudian datang, dan menceburkan dirinya ke laut...., semakin dalam ia memasuki dasar laut.. ia semakin larut.... sesaat sebelum sang garam yang tinggal setitik debu itu hancur luluh...., ia tersenyum dan menangis bahagia..... ”Sekarang...aku tahu siapa aku.”

Kutipan diatas, mungkin pantas untuk menggambarkan proses pencarian diri pribadi. Setelah sekian lama mencari, akhirnya sang pribadi menemukan apa yang dicarinya selama ini. Sebuah karunia bergelimang Cahaya Ilahi yang terpancar dari pusat semesta diri. Sebuah Pancaran Cinta dan kebijaksanaan yang ternyata ada dalam diri sendiri. Tidak mungkin dapat diungkapkan dengan kata-kata biasa, ia hanya dapat dipahami oleh bahasa qalbu.....dan dialami sendiri.

Kenyataan ini penting untuk disadari, bahwa pengalaman spiritual mutlak dialami bagi mereka yang sedang berjalan mengarungi Lembah Suci Thuwa. Karena ini adalah wilayah rasa, wilayah keasyikan yang tidak hanya dapat dibicarakan dengan kata-kata. Atau diketahui lewat buku-buku atau ceramah-ceramah spiritual. Tapi mutlak harus dialami, sehingga benar merasakan dengan sungguh-sungguh bahwa sang pribadi (Ruh) bersumber dari Sang Maha Pribadi (Maha Ruh).

Inilah Lembah Suci Thuwa yang diarungi dalam sebuah pengembaraan sejati. Sebuah pengenalan sejati antara Ruh dan Maha Ruh. Sebuah pengenalan ulang, akibat keterpisahan yang terjadi saat Ruh diutus ke muka bumi. Sebuah kesaksian kedua setelah di alam arwah ruh kita bersaksi. “Alastu bi rabbikum qollu bala syahidna”. Keterpisahan ruh dengan sang sumber. Disaat ditiupkan kedalam jasad. Sehingga kemampuan dan kesadaran yang dimiliki Ruh harus terkungkung dan dibatasi oleh jasad dengan segala kekurangan dan kelemahannya. Jasad yang memiliki nafsu amarah, lawamah, sufiah dan mutmainah. Nafsu-nafsu yang selalu menghalangi diri pribadi untuk mengenali siapa sang pribadi yang sesungguhnya.

Sebagaimana diawal pembahasan ini, ditampilkan ayat Al Qur’an surat Thaha 20:12, yang bunyinya: “Sesungguhnya Aku ini Tuhanmu, sebab itu tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesugguhnya engkau ada di Lembah Suci Thuwa.” Allah secara langsung mengingikrarkan akan posisinya sebagai Sang Khalik, yang menyatakan Diri-Nya berada di Lembah Suci Thuwa. Oleh sebab itu sebelum jiwa-jiwa memasuki lembah Suci Thuwa. Haruslah menanggalkan terompahnya terlebih dahulu. Terompah adalah sampah dan limbah yang ada di kepala, terompah adalah segala nafsu yang menghalangi kejernihan bathin, terompah adalah ego ke-aku-an manusia. Sebelum memasuki Lembah Suci Thuwa, semua itu harus ditanggalkan. Sebagaimana Allah menginformasikan dalam Al Qur’an :

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntung orang-orang yang mensucikan jiwanya itu, dan merugilah orang yang mengotorinya” (QS. Asy Syams 8-10)

Setelah Jiwa dibersihkan maka Allah menyambutnya: “Salamun qaula mirrobbir rahim” Keselamatan terhatur atasmu dari Allah sang Maha penyayang. Untuk itu haruslah diingat panggilan tersebut bagi jiwa-jiwa yang terpiatu, karena selama ini panggilan itu tidak pernah diindahkan. Jiwa terpiatu dikarenakan selalu memikirkan kebutuhan yang bersifat lahiriah saja, seperti makan, minum, bersolek, bermegah-megahan dalam Anak, Istri, Sanak saudara serta harta kekayaan, selalu mengedepankan ego pribadi ketimbang mengikuti panggilan jiwa. Sehingga melupakan kebutuhan ruhani, yaitu kebutuhan jiwa yang selalu merindui akan kembalinya kepada sang Maha Jiwa. Kemudian Allah menyeru kepada jiwa-jiwa yang tenang; “Ya ayuhal nafsul mutmainah irji’i ila rodiatan mardiah” Hai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Allah dengan keridhoan yang diridhoinya.

Sungguh indah, seruah-seruan tersebut. Tetapi mengapa begitu banyak dari kita tetap tidak mengaindahkan seruan tersebut? Semua itu dikarenakan hati kita yang sudah mati, hati kita sudah buta dan tuli.

“Maka sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada” (QS. Al Hajj 22:46)

“Dan siapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat kelak buta juga dan lebih sesat jalannya” (QS. Al Isra 17:72)

Marilah bersama, dengan tekad yang membaja. Kembali kefitrah asli kita. Fitrah Ruh yang berkecenderungan untuk mengenal Sang Maha Ruh. Fitrah diri sejati untuk bermakrifat kepada Sang Khalik. Dengan mengikuti kecenderungan fitrah sejati kita, maka tidak ada lagi kegelisahan yang menghadang hidup ini. Dikarenakan kita sudah berjalan sesuai dengan garisan yang telah ditetapkan Allah.

Bagi Para sahabat sepengembaraan, marilah arungi relung-relung Cahaya Ilahi. Marilah menjelajahi Lembah Suci Thuwa yang telah diwariskan itu. Sebuah warisan keramat ilahi. Dengan semakin akrabnya mengarungi Lembah Suci Thuwa, maka akan terbitlah suasana Cinta yang Maha Dahsyat. Kekuatan Cinta yang mampu menarik kuat untuk terus menjelajahi pesona ini. Terbitlah sebuah perasaan yang amat terpuaskan terhadap segala sesuatu yang datang dan pergi dalam hidup ini. Karena semua yang datang dan pergi pada hakikatnya karunia Tuhan yang patut kita syukuri.

Marilah saudaraku......kita arungi pesona ini dengan senang hati. Lembah Suci Thuwa nan abadi.....

Dalam tenang, senang itu datang
Dalam senang, semua ingin terpuaskan

Dalam ingin, semuanya tak terkatakan


Sembari sunyi, memasuki Lembah Thuwa

Sembari Suci, tanggalkan terompah dimuka
Sembari Puji, disambut Tuhan Sang Maha Indah

Hanya yang berhaklah yang menerima;
Lembah Thuwa nan Suci,

Warisan Keramat Ilahi

Mendapat Karunia yang hakiki
‘Tuk bekal Jiwa kembali


Sabtu, 26 Juli 2008

Musik, Islam dan Peningkatan Spiritualitas

Kalau kita berbicara masalah Musik secara umum, itulah bahasa universal yang saat ini diterima seluruh dunia, seluruh agama dan golongan manapun. Karena musik bahasa rasa yang bisa membawa pesan apapun termasuk pesan perdamaian. Tetapi kalau kita kaji lebih dalam dan mulai masuk kepada pembahsan yang lebih serius, apalagi bila dihubungkan antara musik dan Islam, sebagai agama mayoritas di negeri kita ini. Maka akan bermunculan pro dan kontra. Memang pada dasarnya pro dan kontra ini telah terjadi sejak jaman Nabi Muhammad Saw ada. Pada kesempatan ini, kita akan mengulas kaitan antara Musik, Islam dan Peningkatan Spriritualitas yang dapat menambah dan meningkatkan tingkat kedekatan (taqarub) dan kesadaran kita terhadap Sang Pencipta.

Musik biasanya tidak terlepas dari syair atau lagu dalam setiap gubahannya. Kebanyakan dari kita menyebut sebagai sebuah nyanyian. Secara umum nyanyian adalah perpaduan antara syair dan nada. Kalaulah sebuah syair/lagu dibacakan dengan nada seperti membaca sebuah buku atau sajak, maka tidaklah dia dinamakan sebagai sebuah nyanyian. Bernyanyi adalah mengeluarkan suara yang di dalamnya terdapat nada-nada tertentu yang tersusun, seiring dengan itu diletakkanlah nada-nada tersebut pada syair/lagu. Maka jadilah dia sebuah nyanyian.

Bila sebuah nyanyian disampaikan dengan suara yang merdu, disebutlah dia nyanyian yang merdu. Tetapi apabila sebuah nyanyian disampaikan dengan suara yang sumbang, disebutlah dia nyanyian yang sumbang/buruk. Suara yang merdu adalah anugrah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Rasulullah bersabda :

“Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengutus seorang Nabi melainkan pasti suaranya bagus” (HR. Tirmidzi)

Suara yang merdu itu dapat berpengaruh kepada jiwa mahluk hidup. Kalau demikian, bagaimana seorang anak dapat diam dari tangisannya ketika mendengar suara sang ibu mendendangkan sebuah lagu kepadanya. Itulah sebabnya sejak zaman purbakala sampai zaman modern ini manusia mengenal banyak jenis nyanyian.

Sebenarnya lagu dan syair itu telah ada pada setiap bangsa di dunia ini di segala zaman. Rasanya mustahil memusnahkan lagu dan syair dari kehidupan manusia yang beradab. Karena itulah kenapa Rasulullah tidak mengharamkan dan memusnahkan keduanya dalam risalah yang beliau bawa. Di dalam tilawah Al Qur’an, sunnat hukumnya menggunakan suara yang merdu. Rasulullah pernah memuji Abu Musa al Asy’ari, ketika beliau membaca Al Qur’an, “Sesungguhnya telah diberikan kepadanya seruling dari seruling-seruling keluarga Daud” (HR. Bukhari). Adapun, mendengar suara yang bagus pada selain tilawah Al Qur’an didalam hukum Islam adalah Mubah (diperbolehkan). Kalaulah tidak demikian adanya, niscaya menjadi haramlah juga mendengar suara kicau burung murai, nuri dan perkutut yang merdu itu.

Namun demikian, bila mendengarkan suara-suara yang merdu itu menyebabkan hati menjadi lalai dari mengingat Allah, maka bukan dari segi mendengarkannya itu yang diharamkan, akan tetapi adalah dari hal yang membuat lalainya itulah yang haram (dilarang).

Allah berfirman dalam surat Al Mukminun ayat 3:

“(Dan orang-orang yang beriman yang memperoleh kemenangan itu adalah) orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (sia-sia)”.

Yang paling masyur mengenai nyanyian ini adalah riwayat yang menceritakan bahwa para wanita Madinah (kaum Anshor) naik ke atas rumah-rumah mereka serta memukul rebana dan bernyanyi untuk menyambut kedatangan Rasulullah Saw, pada saat Hijrah dari Kota Mekkah ke Kota Madinah.

Thola’al Baddru ‘alaina, min tsaniyatil wada’i, wajaba syuk’ru ‘alaina, mada’a lilahi da’i

Artinya : “Telah terbit purnama raya pada kami, dari bukit Tsaniyatil Wada, wajiblah kami bersyukur, apa yang diserukan oleh Penyeru" (HR. Bukhari Muslim).

Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang membolehkan umat Islam melantunkan syair atau lagu sambil diiringi nada/musik yang merdu. Yang terpenting disini adalah semua kegiatan tersebut tidak membuat kita lalai dari mengingat Allah.

MUSIK DAN SPIRITUALITAS

Kemudian kita beranjak pada pemahaman tentang musik yang lebih universal dalam hubungannya dengan spiritualitas. Musik sesunguhnya adalah kumpulan nada-nada dasar (7 nada dasar) yang dirangkai secara harmoni sehingga menghasilkan komposisi yang merdu dan nikmat didengar dikarenakan adanya harmonisasi dari ketujuh nada dasar tadi. Dalam setiap nada dasar akan menghasilkan sebuah frekwensi (getaran) yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang.

Untuk itulah banyak aliran spiritual menggunakan musik sebagai salah satu sarana untuk mempengaruhi kejiwaan para anggotanya untuk lebih fokus, khusuk dan bisa masuk kedalam dirinya. Karena setiap manusia normal dapat mendengar melalui kedua telinganya. Karena Telinga adalah salah satu dari jendela Qalbu, di samping mata dan panca indera yang lainnya. Dengan demikian, segala sesuatu yang didengar oleh telinga akan memberikan pengaruh pada qalbunya. Itulah sebabnya Allah Swt kelak akan meminta pertanggung jawaban pendengaran ini.

“............ Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al Isra’ 17 :36)

Melihat begitu pentingnya pengaruh bunyi-bunyian terhadap qalbu manusia, para spiritualis menggunakan musik sebagai sarana untuk mempercepat peningkatan spiritual. Mengapa hal ini dilakukan? Karena secara ilmu pengetahuan ilmiah, manfaat musik atau bunyi-bunyian ini telah diteliti dan dibuktikan secara ilmiah. Dalam dunia teknologi bunyi, suara yang dihasilkan oleh suatu alat musik tertentu akan menghasilkan frekuensi dan gelombang tertentu yang dapat ditangkap oleh manusia. Batas frekuensi suara adalah 20 Hz s/d 20.000 Hz, namun demikian tiap orang, mempunyai kemampuan berbicara, bernyanyi dan berteriak, pada batas frekuensi yang berlainan (tinggi-rendah), serta memiliki batas pendengaran yang berbeda. Secara umum batas itu menjadi bertambah sempit, yaitu antara 200 Hz s/d 800 Hz. Sedangkan batas toleransi frekuensi bicara pada anak dan wanita 800 Hz, laki-laki dewasa 259 Hz dan batas frekuensi alat-alat musik lebih luas lagi, bahkan tak terbatas. Sedangkan untuk berkomunikasi melalui udara dibutuhkan frekuensi 100 Mhz s/d 5 Ghz pada radio. Pada kapal selam yang berkominikasi melalui air, frekuensi yang dipakai adalah frekuensi sonar (ultrasound – 2Khz s/d 100 Khz).

Nah inilah penemuan terbaru dalam dunia ilmu pengetahuan. Bahwa untuk berkomunikasi dan transfer energi melalui jaringan syaraf maka frekuensinya akan mengikuti frekuensi atau getaran dari pusat syaraf (otak) yaitu antara 0 Hz s/d 50 Hz. Karena dengan ditemukannya alat EEG (Electro Enchephalo Graph), maka otak dengan system syaraf Neuron yang ada didalamnya dapat diukur kadarnya. Mulai dari getaran listrik yang terjadi diotak dan berapa frekuensinya.

Para ahli Neurologi kemudian membagi gelombang di pusat syaraf otak itu menjadi 4 kelompok serta pada kondisi apa gelombang itu bekerja:

  1. Gelombang BETA (14-30 Hz). Pada saat sadar, konsentrasi penuh dan serius, dalam kehidupan sehari-hari, berjalan, berlari, makan, minum dan seterusnya.
  2. Gelombang ALPHA (8-13,9 Hz). Pada keadaan rileks dan santai, antara sadar dan tak sadar, mulai merasa mengantuk, yang biasanya tubuh mengeluarkan hormon seratonin dan endoprim, yaitu hormon yang biasanya membuat mengantuk dan membuat tubuh santai, pada saat mulai mau tidur.
  3. Gelombang THETA (4-7,9 Hz). Masuk kedalam keadaan “tidur REM” (Repeat Eye Movement – Kelopak mata bergetar), dalam keadaan trance, meditasi, kreatifitas tinggi, mulai mengalami mimpi dan sebagainya.
  4. Gelombang DELTA (0,1-3,9 Hz). Tidur paling lelap atau tidur dalam, hormon ditubuh bekerja paling minimal, hilang kesadaran secara total, berada dalam ketaksadaran.

Inilah dasar yang digunakan para terapis atau para ahli spiritual untuk membimbing dalam peningkatan spiritual. Dengan menggunakan musik yang lembut, mendayu dan sebagainya dapat membawa seorang pelaku spiritual masuk kedalam diri mereka lebih cepat, lebih khusuk, lebih dalam dan damai. Musik-musik instrumen yang membawa otak meninggalkan gelombang BETA menuju gelombang ALPHA, bahkan THETA.

Jadi dapat ditarik kesimpulan dari uraian singkat ini, bahwa musik dapat membantu seseorang untuk mencapai peningkatan spiritual dan musik dalam dunia Islam tidak bertentangan dan bahkan dibolehkan oleh Nabi Muhammad Saw, sejauh kegiatan tersebut tidak berlebihan dan melalaikan diri dari mengingat Allah. Mudah-mudahan Uraian ini ada manfaatnya. Selamat menikmati musik yang membawa diri kita semakin fokus mengarungi khasanah spritualitas diri.

Rabu, 24 Oktober 2007

Metode dan Teknik Quantum Makrifat

Mendasari pada kenyataan yang terjadi saat ini, bahwa begitu banyak teknik/metode dan pelatihan untuk mencapai kecerdasan paripurna dalam diri manusia dengan mengembangkan kemampuan IQ, EQ dan SQ dan pengoptimalan kekuatan pemikiran (The Power Of Positive Thinking) dan kekuatan Perasaan-Hati (The Power Of Positive Feeling). Maka izinkanlah saya untuk urun rembuk dalam kancah pencarian serta sumbang pemikiran untuk juga mencarikan solusi yang efektif dalam mewujudkan manusia yang paripurna, sebagai Khalifah Allah di muka bumi ini.

Menyadari dengan keterbatasan yang ada pada diri saya, dan keyakinan yang begitu mendalam akan kekuatan maha dahsyat dalam diri manusia yaitu Ruh. Saya memberanikan diri untuk berbagi pengalaman terhadap sebuah proses panjang yang telah saya lewati untuk mencari makna terdalam dalam hidup ini. Suatu pemaknaan hakiki terhadap pengenalan Tuhan (Makrifat) yang lebih dari 10 tahun telah saya geluti.

Dari itu semua, saya mencoba memformulasikan suatu teknik dan metode yang saya beri nama QUANTUM MAKRIFAT. Teknik ini menggabungkan dua kekuatan tradisi yang sudah ada saat ini. Yaitu Peninggalan Tradisi para pendahulu kita (para agamawan, praktisi spiritual dan mistikus) dengan tuntunan bijak falsafah hidup dan keagamaan, untuk mencapai Makrifat secara seketika (Loncatan Quantum). Teknik dan tuntunan ini diharapkan akan dengan mudah mencapai titik sasaran pada pemilik dari segala kecerdasan yang ada pada manusia (IQ, EQ dan SQ) - terdapat di Otak - dan pusat perasaan-hati yang ada di Jantung manusia yaitu Allah. Teknik kuno dari tradisi klasik ini mencapai sasarannya dengan menggiring manusia untuk menemukan sumber hakiki dari kekuatan Spiritual. Kemudian memperkenalkannya dengan Pusat Cahaya yang ada di titik God-Spot, serta mengharmoniskan dengan kekuatan perasaan yang ada di dalam Rongga dada manusia yaitu Jantung (Heart), secara lengkap akan dibahas di dalam tulisan-tulisan berikutnya.

Kemudian mempersiapkan perangkat keras tersebut (Otak dan Jantung) untuk di upgrade (dioptimalkan / ditingkatkan kapasitasnya), sehingga siap menerima perubahan, sebelum diisi dengan perangkat lunak berupa wawasan serta wacana dalam pengembangan diri manusia untuk mengubah karakter serta tabiat buruk yang melekat pada manusia (Menjadi Manusia yang berakhlak Mulia – Berakhlak Allah). Peng-upgrade-an ini dilakukan dengan memanfaatkan kekuatan tradisi yang kedua, yaitu Teknologi modern saat ini. Pengetahuan teknologi modern saat ini sudah berkembang cukup jauh, mengenai pengoptimalan Otak manusia dan seluruh potensi tubuh manusia, berupa penemuan dalam bidang Neuroscience, quantum physics, evolutinary biology, brain science dan science of mind.

Pengetahuan Modern saat ini telah menjelaskan dengan rinci keajaiban otak dan peran pentingnya dalam kehidupan manusia. Serta Keajaiban Jantung sebagai perangkat keras pusat emosi atau perasaan manusia. Mempersiapkan kedua wadah yang telah diberikan Allah, untuk mencapai Makrifat secara Quantum adalah menjadi hal yang mutlak. Karena akan percuma bila diri kita diisi oleh wawasan, ilmu dan wacana untuk mengembangkan diri menjadi lebih baik (berakhlak), tanpa mempersiapkan perangkat keras (Otak dan Jantung) dengan mengkondisikan pada kondisi yang siap untuk menerima asupan ilmu serta kebijaksanaan yang bersumber dari Tuhan tersebut.

Persiapan ini dilakukan dengan menggunakan teknologi Suara (Sound of Technology) yang berpengaruh terhadap gelombang otak manusia dan suasana hati (perasaan) kepada kondisi yang kondusif. Kondisi kondusif ini ditandai dengan otak yang khusyuk, fokus, kreatif, energi positif, intuitif secara seketika, perasaan damai, tenang, tentram dan berserah. Kondisi ini bisa dicapai dengan mendengarkan suara yang sudah disusun dan diprogram sedemikian rupa untuk mempengearuhi wadah yang ada dalam diri manusia berupa otak dan jantung. Sehingga secara sadar maupun tidak sadar, sesaat setelah mendengarkan suara musik yang ada dalam paket CD yang bisa di dapat di QM CENTER, kita akan mendapati diri kita masuk dalam suasana yang khusuk, fokus, damai, tentram, dan berserah. Teknik detailnya dalam menggunakan CD suara ini akan dibahas dibab selanjutnya.

Lompatan Quantum Untuk Mengenal Tuhan

Dengan mempraktekkan Metode yang konfrehensif ini maka akan terjadi lompatan Quantum kesadaran dalam diri manusia untuk mengenal Tuhannya. Loncatan Quantum kesadaran inilah yang dinamakan Quantum Makrifat. Suatu keadaan atau kondisi seseorang mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya. Ia akan menyaksikan Cahaya yang terang benderang sebagai pusat Kesadaran yang ada di Jiwanya. Sebagaimana Al Quran menginformasikan hal ini dalam surat An Nur 24:35. Inilah titik God-Spot yang saat ini dibicarakan oleh begitu banyak peneliti dan para pakar Spiritual quotient (SQ) seperti Danah Zohar dan Ian marshal, Michael Persinger dan V.S. Ramachandran. Inilah Fitrah sesungguhnya atas keberadaan manusia. Suatu tempat yang tinggi dalam puncak keberadaan manusia. Eksistensi God-Spot dalam Otak manusia yang sudah Built-in sebagai pusat spiritual (spiritual center) yang terletak di antara jaringan saraf dan otak manusia



Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License

Fitrah Sejati Manusia

Fitrah sejati dari keberadaan manusia dimuka bumi ini adalah untuk mengenal Sang Penciptanya. Inilah tuntutan naluriah dari pencarian mendalam tentang makna hakiki dalam kehidupan. Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan Allah di muka bumi ini. Bahkan manusia adalah pencitraan Tuhan Sang Maha Kekal. Seandainya kita tidak mengenal Allah, maka bagaimana kita dapat menyembah-Nya, memuji-Nya, dan memohon pertolongan pada-Nya?

Hikmah atau ilmu perlu ada dalam diri manusia untuk mengenal Allah, sebagai Tuhannya. Yaitu dengan menyingkap tirai hitam yang menutupi cerminan Qalbu seseorang, membersihkan dan mengikilaukannya sampai bersih sehingga keindahan Ketuhanan yang terbayang pada cermin Qalbu itu akan tampak. Allah ibarat harta tersembunyi dan Ia ingin di kenal. Maka dijadikan-Nya mahluk untuk mengenal-Nya. Oleh karena itu, manusia hendaknya mencari tahu cara, teknik atau metode serta mencari ilmu untuk mengenal Allah (Makrifatullah).

Allah Swt, telah berfirman di dalam sebuah hadis qudsi, yang berbunyi, “Aku laksana harta yang tersembunyi. Aku ingin dikenali. Karena itu, Aku menciptakan semua mahluk.” Kitalah mahluk yang dimaksud dalam hadis tersebut untuk mengenal Zat-Nya yang Mahaagung, dan karena itu wajiblah bagi kita untuk berusaha mengenal-Nya.

Jadi jelas sudah, bahwa tujuan Allah Swt, menciptakan manusia adalah agar mereka mencari ilmu untuk mengenali-Nya. Ada dua peringkat ilmu makrifat. Pertama, ilmu untuk mengenal sifat Allah dan perwujudan kekuasan-Nya. Kedua, ilmu untuk mengenal Zat Allah.

Dalam mengenali sifat-sifat Allah itu, manusia yang masih berdaging dan bertulang ini dapat mengalami dan merasakan hal-hal yang bersifat keduniawian dan keakhiratan, yaitu kita dapat mengenal sifat-sifat Allah melalui pengalaman dan pengamatan terhadap kedua hal tersebut. Tetapi ilmu yang membawa kita kepada pengenalan terhadap Zat Allah terletak dalam Ruh al-Quds (Ruh Suci) yang diberikan kepada manusia agar dapat mengenali rahasia-rahasia Akhirat. Allah menyebutkan perkara ini, seperti dalam firman-Nya:

“.....dan Kami memperkuatnya dengan Ruh al Quds.....” (QS. Al Baqarah 2:87)

Mereka yang mengenal Zat Allah akan memperoleh ilmu melalui Ruh Suci yang terpendam dalam diri mereka masing-masing. Jadi kedua ilmu itu (mengenal Zat dan mengenal sifat Allah) di peroleh dengan ilmu hikmah atau makrifat. Keduanya pun terbagi menjadi dua aspek, yaitu ilmu batin dan ilmu zahir. Kedua ilmu ini penting bagi seseorang yang menginginkan kebaikan dan kebajikan. Pendek kata, ilmu terbagi menjadi dua, yaitu ilmu yang ada di lidah manusia dan yang ada di dalam qalbu manusia. Inilah yang perlu dicapai dari harapan dan tujuan kita, yaitu mengenal Allas Swt.

Creative Commons License

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License

Pencarian Makna Hakiki

Sudah sekian lama umat manusia mencari makna terdalam dari hidup yang telah ia alami. Tetapi tak pernah menemukan makna hakiki yang bisa memuaskan akal serta perasaannya. Banyak diantaranya melakukan hal yang ekstrim dalam hidupnya hanya untuk mendapatkan pemaknaan baru tentang jati diri manusia. Begitu pula yang dilakukan para ilmuan akhir dekade ini. Mereka berusaha mensejajarkan antara ilmu pengetahuan modern dengan ilmu pengetahuan agama serta tradisi klasik, untuk mengungkapkan pemaknaan yang sejati atas diri manusia. Suatu hal yang tak terlihat, tetapi berperan sangat sentral dalam kehidupan manusia. Sesuatu yang halus dan lembut, yang memancarkan cinta kasih, kedamaian, harmoni, pengorbanan, serta rasa syukur. Itulah sisi terkuat dalam diri manusia; Spiritualitas.

Inilah krisis pemaknaan yang terjadi pada masyarakat modern, yang sudah kehilangan identitasnya sebagai manusia. Ia kehilangan suatu hal berharga dalam hidup, yaitu Tuhan. Tuhan yang telah menciptakannya, Tuhan yang telah memberikan segala kenikmatan dalam hidupnya, Tuhan yang membuat otak (The Power of posititive Thinking) dan jantung (The Power of Positif Feeling) dapat bekerja secara harmonis, sehingga dapat memenuhi segala keinginannya untuk mencapai tujuan.

Saya teringat kata-kata Viktor Frankl salah satu pelopor pemikiran Psikologi Humanistis, bahwa pencarian kita akan makna merupakan motivasi terpenting dalam hidup kita. Pencarian inilah yang menjadikan kita mahluk spiritual dan ketika kebutuhan makna ini tidak terpenuhi, hidup kita terasa dangkal dan hampa. Bagi sebagian besar kita saat ini, kebutuhan tersebut tidak terpenuhi dan krisis mendasar di zaman ini adalah krisis spiritual.

Ada hal yang cukup menarik sebagai contoh, yang sering diungkapkan Danah Zohar dalam setiap sesi pertemuannya tentang kebangkitan spiritual, suatu pemaknaan baru dalam hidup manusia untuk menelusuri krisis spiritual yang terjadi saat ini dikalangan eksekutif muda di seluruh dunia. Mengutip apa yang pernah dituturkan Danah Zohar: “Baru-baru ini, saya menerima e-mail penting dari seorang eksekutif bisnis senior di Swedia yang meminta bertemu dengan saya dalam kunjungan saya ke Stockholm nanti. Dia mengatakan bahwa dia harus membuat keputusan besar tentang arah hidup selanjutnya dan berharap kami dapat mendiskusikannya. Ketika kami bertemu, dia tampak gelisah dan tidak bersemangat serta tergesa-gesa ingin langsung membicarakan persoalannya. “Anders”, saya sebut saja demikian, mengatakan bahwa dia berusia sekitar 30-an. “Saya,” katanya, “mengelola sebuah perusahaan besar dan sukses di Swedia. Saya memiliki kesehatan yang baik, keluarga yang menyenangkan, dan kedudukan terhormat dalam masyarakat. Saya kira saya mempunyai ‘kekuasaan’. Namun, saya tetap tidak yakin mengenai apa yang saya lakukan dengan hidup ini. Saya tidak yakin bahwa saya berada pada jalan yang benar dalam melaksanakan pekerjaan saya.”Dia mengatakan lebih lanjut bahwa dirinya sangat khawatir dengan keadaan dunia, khususnya keadaan lingkungan hidup global dan kehancuran masyarakat. Dia mengatakan bahwa orang-orang menghindari skala nyata dari masalah-masalah yang mereka hadapi. Dia merasa bahwa bisnis besar seperti miliknya turut bersalah karena tidak ikut menghadapi masalah semacam itu. “Saya ingin berbuat sesuatu tentang hal ini. Saya ingin memanfaatkan hidup saya untuk melayani, namun tidak tahu caranya. Saya hanya tahu bahwa saya ingin menjadi bagian solusi. Bukan malah menjadi masalah.”

“Anders menggambarkan kegelisahannya itu sebagai “masalah spiritual” dan dia sedang melewati “Krisis spiritual”. Ini adalah krisis khas yang menimpa kebanyakan orang muda saat ini, mereka tidak tahu pasti cara menjalani hidup yang bermakna. Mereka rindu untuk menjalani kehidupan dalam konteks makna dan nilai yang lebih luas. Mereka memiliki apa yang disebut oleh Viktor Frankl sebagai kehendak terhadap makna, namun mereka merasa kehendak itu akan hancur di dunia saat ini.

Pencarian makna tampaknya sangat nyata dalam begitu banyak aspek kehidupan kita. Siapa saya? Kemana saya pergi setelah mati nanti? Apa makna dari pekerjaan saya? Apa makna perusahan yang saya bangun susah payah ini? Apa makna perusahan tempat bekerja saya? Apa makna hubungan ini? Mengapa saya belajar demi gelar ini? Apa artinya diri saya? Untuk apa saya mengumpulkan harta yang melimpah ruah ini?. Inilah krisis makna yang terjadi di dunia kita saat ini. Adapula laporan yang mengatakan bahwa di Dunia Barat, dua dari sepuluh penyebab kematian tertingginya disebabkan oleh bunuh diri dan alkoholisme. Hal ini sering dikaitkan dengan krisis makna yang terjadi pada manusia modern, terutama di Dunia Barat.

Salah satu yang diutaran Danah Zohar dalam bukunya SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, adalah kiat-kiat efektif mengembangkan kecerdasan spiritual dalam hal memaknai hidup ini. Ada berbagai teknik untuk mengungkapkan makna; tetapi ada lima situasi ketika makna membersit ke luar dan mengubah jalan hidup kita – menyusun kembali hidup kita yang porak-poranda.

Pertama, makna kita temukan ketika kita menemukan diri kita (selff discovery). Sa’di, penyair besar Iran, pernah kehilangan sepatunya di Masjid Damaskus. Ketika dia sedang bersungut-sungut meledakkan kejengkelannya, dia melihat seorang penceramah yang berbicara dengan senyum ceria. Tampak dalam perhatiannya bahwa penceramah itu patah kedua kakinya. Tiba-tiba, dia disadarkan. Segala kejengkelannya mencair. Dia sedih kehilangan sepatu padahal di sini ada orang yang tertawa ria walaupun kehilangan kedua kakinya.

Kedua, makna muncul ketika kita menentukan pilihan. Hidup menjadi tanpa makna ketika kita terjebak dalam satu keadaan; ketika kita tidak dapat memilih. Seorang pegawai Bank Swasta dipindahkan dari Jakarta ke Tangerang, Banten. Dia mendapat posisi yang sangat baik dengan gaji yang berlimpah. Akan tetapi, dia juga kehilangan waktu untuk berkencan dengan keluarga dan anak-anaknya. Hampir setiap hari ia berangkat dari rumah jam 5 pagi dan pulang kerja sampai di rumah jam 9 malam. Dia ingin mempertahankan jabatannya dan ingin mempunyai waktu lebih banyak untuk keluarga, tetapi hal itu adalah mustahil. Kerena ia harus memilih keluarga atau pekerjaannya. Pada suatu hari, dia berdiri didepan rapat pimpinan dan menyatakan mengundurkan diri. Dengan semangat yang membaja ia gantikan waktu kerja yang telah hilang itu untuk berwiraswasta, dan nyatanya berhasil. Saat itu, dia merasakan kebahagiaan menemukan kembali makna hidupnya.

Ketiga, makna ditemukan ketika kita merasa istimewa, unik, dan tak tergantikan oleh orang lain. “Aku senang bersama cucuku,” kata seorang kakek. “Cucuku suka mengatakan ‘Ikuti aku, Opa’ dan aku menuruti semua kemauannya. Tidak ada seorang pun dapat melakukan itu baginya. Ibunya juga tidak, karena terlalu sibuk. Seorang anak jalanan merasa sangat bahagia ketiga Ari Wibowo, seorang artis yang menjadi idolanya itu mendatanginya di pertigaan lampu merah dan mengajaknya makan disebuah lestoran mahal. “Bayangkan, seorang Ari Wibowo mau mengajak makan anak jalanan! Untuk mendapatkan pengalaman seperti itu, kita tidak selalu memerlukan orang seperti Ari Wibowo. Carilah orang yang mendengarkan kita dengan penuh perhatian, kita akan merasa hidup kita bermakna.

Keempat, makna membersit dalam tanggung jawab. Ini adalah kisah tentang seorang perempuan yang berlibur ke Bali tanpa suaminya. Di sana, dia berkenalan dengan seorang anak muda yang tampan. Dia jatuh pada rayuannya. Ketika sang pemuda mohon diizinkan untuk mengunjungi kamar hotelnya, perempuan itu menyetujuinya. Dia tidak pernah berselingkuh, tetapi dia sudah berpisah dengan suaminya selama dua minggu. Ada hasrat seksual bergejolak. Dia menunggu pemuda itu dengan penuh gairah. Akan tetapi, ketika pemuda itu mengetuk pintu kamarnya, perempuan itu merasa sengatan keras di jantungnya. Ketika ketukan pintunya itu makin keras, dia teringat suaminya. Dia memutuskan untuk tidak membuka pintu. “Lalu,” kata perempuan itu, “....aku mendengar langkah-langkah kakinya menjauh. Aku menengok dia lewat jendela. Ketika aku melihatnya pergi, aku mengalami perasaan bahagia yang paling intens dalam hidupku.”

Kelima, makna mencuat dalam situasi transendensi, gabungan dari keempat hal diatas. Ketika mentransendensikan diri kita, kita melihat seberkas diri kita yang autentik, kita membuat pilihan, kita merasa istimewa, kita menegaskan tanggung jawab kita. Transendensi, kata Zohar, adalah pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar pengalaman kita yang biasa, ke luar suka dan duka kita, ke luar diri kita yang sekarang, ke konteks yang lebih luas. Pengalaman transendensi adalah pengalaman spiritual. Kita dihadapkan pada makna akhir – ultimate meaning – yang menyadarkan kita akan aturan agung yang mengatur alam semesta. Kita menjadi bagian penting dalam aturan ini. Apa yang kita lakukan mengikuti rancangan besar, yang ditampakkan kepada kita. Inilah makna hakiki, sebagai pemaknaan yang komfrehensif terhadap segala persoalan hidup manusia. Kembali ke sumber makna itu sendiri yaitu Tuhan; yang transenden.



Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License

T R I D A Y A ( Cipta, Rasa, Karsa )

Mungkin banyak dari kita pernah mendengar kata-kata TRIDAYA yaitu Cipta, Rasa dan Karsa. Tetapi sangat sedikit dari kita memahami secara mendalam tentang Tridaya ini. Inilah sebuah kekuatan maha dahsyat yang ada pada diri kita yaitu kekuatan Cipta, Rasa dan Karsa/Kehendak. Kekuatan inilah yang sebenarnya menggerakkan setiap aktifitas yang kita lakukan setiap hari mulai dari bangun tidur yaitu saat pertama kali kaki menginjak tanah/lantai hingga saat ketika kita melepas semua kepenatan hidup dan membaringkan tubuh kita untuk tertidur lelap. Semuanya itu adalah berkat kreasi dari Tridaya ini. Apakah Tridaya itu? Inilah yang ingin kita ulas dalam tulisan ini. Semoga ada manfaatnya.

Cipta ialah kekuatan yang membuat gambar-gambar terhadap rencana dan segala sesuatu yang telah terjadi berupa Citraan (gambaran) yang ada di benak kita. Kemudian Rasa ialah kekuatan halus yang menyelimuti dan menyatu dari setiap gambar-gambar atau citraan terhadap segala sesuatu yang membawa kesan, hal ini sering kita namakan perasaan (emosi pribadi). Dan yang terakhir adalah Karsa atau kehendak/tekad. Inilah kekuatan yang menggerakkan segala Cipta dan Rasa itu menjadi terlaksana.

Bagi orang-orang yang telah mengenal diri pribadinya, seharusnya sudah bisa mengatur Tridaya ini sehingga menjadi suatu kekuatan yang manunggal/menyatu. Dalam bukunya Karya Agung, Ki Ageng Nitiprana menjelaskan bahwa sangat sulit untuk menentukan dari ketiga daya ini yang bergerak lebih dahulu. Memang ada kalanya Cipta, adakalanya Rasa, tapi ada kalanya juga Karsa/tekad yang menggerakkan kekuatan-kekuatan yang menimbulkan pekerti dalam diri kita.

Untuk mendapatkan pembuktian dari kekuatan Tridaya yang ada dalam diri kita, alangkah baiknya setiap dari kita selalu meneliti atas tindak-tanduk dan perbuatan yang kita lakukan. Apakah tindakan yang kita perbuat bermula dari adanya Cipta, Rasa atau Karsa. Hal ini diperlukan untuk bisa lebih memahami kekuatan yang lebih dominan dalam diri kita. Apakah Cipta, Rasa atau Karsa yang muncul lebih dahulu? Hal ini penting, sehingga dikemudian hari kita lebih bisa memanfaatkan kekuatan Tridaya tersebut agar lebih optimal. Untuk memudahakan memahami masalah tridaya ini, kita bisa lihat dari contoh berikut;

Sebagai contoh ada seseorang bernama si fulan yang sudah mengenal diri pribadinya, mencoba mendapatkan apa yang ia cita-citakan. Ia mencita-citakan ingin mendirikan sebuah penerbitan. Si fulan yang saat itu tidak mengetahui sama sekali tentang penerbitan kemudian menggunakan Ciptanya. Ia mulai menggambarkan dalam batinnya sebuah buku yang bisa ia cetak dan terbitkan sendiri, ia menggambar detail dari proses membuat buku tersebut. Tetapi karena tidak didukung dua kekuatan tridaya yang lainnya maka cita-citanya tersebut agak tersendat. Kemudian ia memperbaiki caranya. Pada saat menggambar kembali terhadap cita-citanya tersebut, ia mengikutsertakan kekuatan Karsa/kehendak yang menggebu-gebu, sehingga muncullah perasaan yang menyelimutinya atas cita-cita itu. Jadi setelah Tridaya itu menyatu, antara gambar yang ia buat, kemudian tekad yang membaja, serta persaan yang membuat yakin atas cita-citanya maka seketika itu pintu terbuka dan dihadapan terbuka jalan untuk mewujudkan cita-citanya, seakan dimudahkan proses terwujudnya mendirikan penerbitan, ia melaluinya dengan mudah. Sehingga cita-citanya terwujud dan menjadi kenyataan.

Jadi setiap orang dan setiap kasus berbeda-beda dalam menggunakan Tridaya ini. Hampir setiap hari, setiap detik kita menggunakan kekuatan tridaya, tapi sayangnya kita tidak pernah memperhatikan prosesnya dan menyadarinya. Apabila kita mampu mengelolanya dengan baik sehingga mampu memanunggalkan tridaya tersebut, maka tidak ada yang tidak mungkin dalam hidup ini. Kita adalah mahluk yang paling sempurna, dan mendapat mandat sebagai khalifahNya. Maka kita dan Tuhan berkreasi bersama di Bumi ini untuk kemajuan dan keharmonisan alam semesta.

Dalam perkara yang lebih luhur lagi, bagi mereka yang sudah mengenal NUR ILAHI disaat mi’raj. Dapat menggunakan dan membiasakan kekuatan Tridaya ini untuk bisa manunggal saat memasuki alam keluhuran. Bisa menggunakan kendaraan Cipta, Rasa atau Karsa disaat memulai memasuki alam keluhuran tersebut. Hingga tiba saat dimana Tridaya ini kita tinggalkan. Bila sudah tiba waktu yang tepat dan saat yang tepat, kekuatan Tridaya ini luluh dengan sendirinya menjadi kekuatan TRIDAYA SANG MAHA AGUNG. Tidak ada lagi cipta, rasa dan karsa insan. Kepasrahan total, yang menarik kuat untuk terus memasuki lorong-lorong CAHAYA. Hingga hampa tak ada apa dan siapa, suwung dalam hening yang membahagiaakan. Cahaya tanpa warna, berkilau tanpa dapat diberi nama lagi.

Kepercayaan Terhadap Diri Pribadi

Siapakah yang dapat kita percaya? Pertanyaan ini, mungkin patut kita tanya pada diri kita sendiri. Mungkin kita akan menjawab, orang tua kita, suami atau istri kita, bos kita atau guru kita. Tetapi pastilah dalam diri kita akan timbul keraguan, mungkin nanti orang yang kita percaya akan berkhianat pada kita, akan menghakimi dan menyerang balik, akan menipu kita, sehingga timbullah rasa kecewa, marah, frustasi dan dendam.

Untuk bisa mempercayai orang lain, seharusnya kita percaya dahulu terhadap diri pribadi kita. Ki Ageng Nitiprana menguraikan tentang diri pribadi dan tempat tinggalnya atau keberadaannya sebagai berikut :

“Umat manusia adalah mahluk Allah Ta’ala yang paling mulia diantara para makhluk lainnya. Hal ini dikarenakan pada diri manusia telah diberi atau dibekali azimat daya ghaib, yang daya hikmatnya sanggup membimbing, menjaga serta menyelamatkannya baik di dunia maupun di akhirat, dan umat manusia yang benar-benar sudah melihat dan sudah mengenal serta percaya pada Daya Ghaib yang bersemayam dan manunggal dengannya, yaitu Diri Pribadi Yang Sejati atau Aku Sejati yaitu Tuhanmu yang wajib diimani dan dipujanya oleh orang-orang yang benar-benar sudah mengetahui-Nya dimana hal tersebut sudah menjadi kewajiban yang mutlak bagi kaum Mu’min dan Mu’minat.”

Jadi Diri Pribadi adalah Aku sejati yaitu Tuhan yang wajib diimani dan dipuja yang memiliki azimat daya ghaib yang bersemayam dan manuggal dalam diri manusia. Inilah Diri Pribadi yang harus kita percaya selamanya.

Kepercayaan pada diri pribadi demikian penting dalam hal mengarungi dan menghadapi permasalahan hidup. Termasuk masalah mata pencaharian, sebenarnya hal itu tergantung dari orang yang mencari, menjalani dan menggelutinya. Jika yang mencari hanya mau yang mudahnya saja sudah tentu tidak akan terkabul maksud dan tujuannya. Sebaliknya jika hanya memikirkan hal-hal yang sukar-sukar saja, itupun akan mengakibatkan pekerjaanya tidak akan selesai.

Masalah kemudahan dan kesukaran tersebut harus dimantapkan menjadi satu terlebih dahulu, yang pada akhirnya nanti akan menimbulkan percaya pada Diri Pribadi, sehingga kita tidak akan menjadi malas, segan atau bingung dalam memulai pekerjaan dan juga ketika mengerjakannya tidak terasa berat dan pada akhirnya dapat kita selesaikan tepat pada waktunya serta baik hasilnya. Hal ini dikarenakan kita sudah tidak mempunyai rasa khawatir akan kegagalan dan juga tidak mempunyai rasa menganggap mudah pekerjaan tersebut yang dapat mengakibatkan tindakan yang sembrono. Jadi, barang siapa yang mempunyai rasa percaya diri pribadinya, sudah pasti akan dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan hasil yang memuaskan.

Adapun yang sering menimbulkan halangan, adalah berasal dari diri kita yaitu perasaan kita, yang sering merasa kecil, da’if, merasa bodoh, khawatir, bimbang, ragu, malu, kecewa, takut, sakwasangka, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan kita tidak percaya kepada Dirinya Sendiri, tidak yakin pada Daya Guna dan manfaat/keampuhan Sang Aku Sejati yang menyertai kita.

Kita merasa segala yang tampak didepan kita menjadi musuh terbesar yang menghalangi kita. Tetapi, sebenarnya yang disebut musuh yang terbesar bagi setiap orang yang membahayakan tidak jauh dari diri kita sendiri, yaitu yang menimbulkan perasaan : da’if, sial, khawatir, takut dan sebagainya . Semuanya itu adalah musuh-musuh terbesar umat manusia yang tidak tampak, tetapi selalu menghalang-halangi niat, kehendak, semangat atau pekerjaan kita, merintangi jalan keselamatan kehidupan kita serta menjadikan rintangan dalam menggapai cita dan harapan yang ingin maju sampai ke tujuan yang benar dan mutlak, yaitu dapat mengenal dan mengetahui keberadaan Allah Ta’ala.

Bagi orang-orang yang mempunyai maksud ingin maju, tetapi mempunyai perasaan ragu-ragu, bimbang, khawatir atau takut, pada akhirnya akan menjadi diam atau mundur. Jadi perasaan khawatir dan takut inilah yang sebenarnya dapat mengurangi kepercayaan dan menghalangi keinginan atau cita-citanya itu. Sehingga hal ini mengakibatkan ia tidak dapat melaksanakan tugas/pekerjaan seperti apa yang dikehendakinya, sebab hanya menerima apa saja adanya, malah semakin lama bisa semakin sengsara/sial saja keadaanya, menjadi layu serta ambruk dalam keputus-asaan.

Orang-orang yang hilang kepercayaan kepada dirinya sendiri tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik, lebih-lebih bila hendak mengerjakan yang besar, serta hendak memajukan perusahaannya. Sebaliknya, kepercayaan kepada diri pribadi itu bisa meneguhkan/memantapkan dan membulatkan tekad, keyakinan pada dirinya sendiri, maka semua pekerjaan apapun akan dapat dilaksanakan dan diselesaikan dan hasilnyapun sangat memuaskan atau sukses.

Dengarkanlah SUARA PRIBADI, yang diutarakan bapak Gondo (pendiri Panca Daya) berikut ini;

“Hai........(sebut nama sendiri) perkenalkanlah. Aku adalah dirimu sendiri...............Aku berada didalam dirimu, namaku PRIBADI. Selama ini engkau sering menyebut namaku tanpa mengenal Aku. Engkau selalu berbuat tanpa Aku. Padahal Aku adalah pembantumu yang setia. Tidak sedikitpun Aku meninggalkan engkau, tetapi engkau tak tahu. Di duniamu engkau selalu menderita, mengeluh, sedih, kekurangan, sakit, takut, bahkan ada kalanya hampir-hampir putus asa. Engkau tiada tahu bagaimana mengatasinya dan kepada siapa engkau harus meminta pertolongan. Sebenarnya engkau tak perlu menderita, asal saja engkau senantiasa menyertakan Aku dalam segala perbuatanmu.

Kini telah tiba waktunya untuk mengakhiri segala penderitaanmu. Arahkanlah perhatianmu kedalam dirimu. Akulah dirimu yang engkau sebut PRIBADI. Engkau mempunyai kekuatan yang Maha Hebat dalam dirimu. Akulah kekuatan itu. Akulah yang menjadikan segala apa yang engkau kehendaki, yang dapat mengubah hidupmu yang lampau dengan segala derita menjadi hidup baru yang penuh bahagia, mengubah rasa takut menjadi sentosa; mencukupi dikala kekurangan, menghibur dikala duka; menyembuhkan dikala sakit; melindungi engkau dari segala marabahaya. Percayakanlah kepadaku segala sesuatu yang menjadi kebutuhanmu, semua cita-citamu, demikian pula hari depanmu. Jangan bimbang...... Jangan heran.... terimalah Aku. Pribadimu sendiri, suatu kekuatan yang engkau dapat rasakan dalam dirimu.

Suruhlah Aku bekerja untukmu. Aku selalu siapa untuk membantumu. Apa yang harus engkau perbuat ialah, gambarkan yang jelas dalam pikiranmu apa yang engkau butuhkan. Akulah yang akan mengerjakan konsep yang pasti dan yang ada dalam pikiranmu itu. Tanpa ada gambaran yang jelas dalam pikiranmu, Aku tidak akan dapat merobah kehidupanmu yang lama. Selama engkau masih mengeluh, merasa susah, sedih, putus asa, pikiran penuh rasa takut, selama itu pula engkau MEMAKSA Aku untuk mewujudkannya dan mendatangkan apa yang engkau ukir dalam pikiranmu itu. Ketahuilah......apa-apa yang memenuhi kalbumu, itulah yang menentukan keadaan yang akan engkau alami dihari kemudian. Maka jangan melukis hal-hal yang tidak baik dalam pikiranmu. Buatlah konsep-konsep tertentu berdasarkan pengalaman yang konkrit, dan jelas. Gunakan detailnya untuk memantapkan apa yang digambarkan dalam batinmu”. Lakukanlah segera..................

Bila sempurna Gambarnya (Cipta), Sempurna Rasanya (Rasa) dan Sempurna tekadnya (karsa) maka terwujudlah apa yang dicita-citakan, percaya Kepada Diri Pribadi adalah mutlak, sehingga kita tidak menghambat aliran keberkahan yang dianugrahkan Tuhan kepada kita semua. Semoga tercapai Tujuan, merentas dan membulatkan Kepecayaan Diri Pribadi hingga manuggalnya Tridaya dalam setiap pra tingkah kehidupan kita semua. Amiiiin.....




Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License

Kamis, 27 September 2007

Pertemuan Tradisi Klasik Dan Teknologi Modern

Sudah sekian lama di dunia yang dianggap modern ini masih saja selalu ada dikotomi antara kehidupan sukses di dunia dan kehidupan sukses di Akhirat. Dikotomi inilah yang membuat banyak manusia yang dianggap sukses di dunia ini kehilangan makna hakiki sebagai manusia yang diutus menjadi khalifah di muka bumi ini. Pembedaan antara kesuksesan duniawi di pisahkan dengan kesuksesan Ukhrawi. Kenapa hal ini terjadi? Kenapa antara kesuksesan duniawi dan kesuksesan Ukhrawi tidak bisa sejalan? Siapakah yang salah dalam mengartikan kesuksesan ini? Inilah yang akan digali lebih mendalam dengan sistem Quantum Makrifat. Bahwa kesuksesan duniawi dan Ukhrawi sesungguhnya dapat beriringan, bergandengan satu sama lainnya.

Begitu juga, kita melihat tradisi Klasik selalu dibenturkan dengan pengetahuan modern. Bahwa tradisi klasik adalah suatu kegiatan yang Irasional dan tidak ada gunanya lagi dalam kehidupan modern saat ini. Melihat perkembangan yang begitu mengkhawatirkan saat ini. Kami mencoba meramu sekuat tenaga, dan mencari solusi terhadap permasalahan yang selama ini terjadi. Dan kami menemukan Formula yang cukup efektif untuk menjawab dan membuktikan bahwa Tradisi Klasik dan pengetahuan teknologi modern dapat dipertemukan. Bahkan dapat sejalan dan saling mendukung.



Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 Unported License

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More