Minggu, 27 Juli 2008

"Lembah Suci Thuwa, Dalam Sebuah Pengembaraan"

“Sesungguhnya Aku ini Tuhanmu, sebab itu tanggalkanlah kedua terompahmu, karena engkau telah berada di Lembah Suci Thuwa “ (QS. Thaha 20 : 12)

Lembah Suci Thuwa adalah pusat pendadaran bagi Jiwa-Jiwa yang diutus ke bumi untuk dapat mengenali misi hidupnya. Hidup dalam cinta dan kebijaksanaan, hidup penuh keseimbangan antara kehidupan batin dan kehidupan duniawi. Kehidupan penuh kesempurnaan.

Lembah Suci Thuwa adalah warisan bagi orang-orang yang haus akan Cinta dan Cahaya. Mereka yang telah dibangunkan dari tidur lelapnya, yang segera menyingsingkan selimut tebal keduniawiannya, untuk bangun di sepertiga malam. Mereka yang selalu siap menanggalkan terompah ke-aku-an, dan datang bersimpuh di mulut Gua Hirah - Jabal Nur untuk menyatakan ampunan. Melepaskan keangkuhan diri dan selalu belajar akan indahnya bercumbu seperaduan dalam bilik dengan Allah sang Maha Cinta.

Lembah Suci Thuwa adalah warisan keramat Ilahi, untuk mereka yang siap berjalan dalam kesadaran penuh akan keagungan Tuhan Semesta Alam. Mereka yang siap menjadi kembara dalam biduk bahtera dunia untuk mengais butir-butir mutiara yang tertutupi limbah dan sampah dunia. Ianya adalah pintu bagi para pengembara...., yang terus-menerus istiqomah mengarungi relung-relung Cahaya Ilahi (Nurun Ala Nurin). Dalam menyibak rahasia diri hingga tertambat dihati; sebuah kesempurnaan Cinta, harmoni dan keindahan; sebuah ketenangan dalam diam.

Inilah sebuah jalan sempurna dalam menempuh tujuan hidup, yaitu Allah Sang Pencipta. Tempat kembali yang Maha indah. Adakah jalan yang lebih baik selain ini? Lembah Suci Thuwa adalah tempat dimana kita mampu menemukan dan mengenali diri pribadi kita.

Ada sebuah keterangan yang mengatakan; bila anda mencari Tuhan keluar dari diri maka semakin jauhlah anda dari-Nya. Maka jalan terbaik adalah kembalilah menelusuri siapa kita dengan memulainya dari diri pribadi dan mengakhirinya pula dengan mengenal diri pribadi. Ingatlah keterangan yang mengatakan “Man Arafa Nafsahu Faqod Arafa Robbahu, Waman Arafa Robbahu Faqod Jahilan Nafsahu” Barang siapa yang mengenal diri pribadinya dia akan mengenal Tuhannya dan barang siapa yang mengenal Tuhannya maka akan bodohlah dia.

Jadi barang siapa yang telah mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya maka ia akan menyadari bahwa yang ada diseluruh jagad raya ini adalah perwujudan Allah, yang memiliki kebisaan, kepintaran, pengetahuan dan kekuasaan. Hanya Allah. Sedang diri kita hanyalah boneka yang tidak memiliki kemampuan apa-apa. Sebagaimana diterangkan “bukan kamu yang melempar tapi aku yang melempar, bukan kamu yang membunuh tapi aku yang membunuh, bukan mulutmu yang berbicara tapi aku yang bicara dan seterusnya”

Lembah Suci Thuwa juga memiliki makna yang hampir sama dengan bangunan yang dibangun Allah sejak manusia diciptakan (Baitullah=Rumah Allah), semakna juga dengan suasana dan kondisi diri manusia yang mencapai nafsu Mutmainah atau Masjidil Aqsa yang dikunjungi saat mikraj, yaitu Masjidil Aqsa yang hakiki. Perumpamaan-perumpamaan ini dibuat untuk memilih manakah diantara hamba Allah yang mau berpikir, yang mau merenungkan makna sesungguhnya dibalik perumpamaan yang ada.

“Tidaklah kamu perhatikan, bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik itu seperti pohon yang baik, akarnya teguh di bumi dan cabangnya menjulang ke langit” (QS. Ibrahim : 2)

“Sesungguhnya Kami telah menjelaskan berulang-ulang kepada manusia dalam Al Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan, lalu kebanyakan manusia menerimanya kecuali ingkar” (QS. Al Isra 17:89)

“Dan sesungguhnya kami adakan bagi manusia di dalam Al Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan jika engkau datang kepada mereka dengan membawa bukti, niscaya orang-orang kafir berkata, “Kamu tidak lain hanyalah orang-orang yang merusak”. (QS. Ar Rum 30:58)

Inilah informasi-informasi simbolis yang disampaikan di dalam Aquran. Semua makna itu adalah sama secara hakikat. Artinya bahwa semua informasi itu mengarah kepada suatu kondisi tempat, keadaan atau wujud yang ada dalam diri kita. Sebuah tempat, keadaan atau wujud yang harus kita kenali. Setelah kita kenali, mulailah mengarunginya. Karena dari sanalah kita akan merasakan sebuah perjalanan yang amat menakjubkan. Sebuah pengembaraan yang mengasyikkan. Karena kita akan menemukan diri kita yang sejati, yang tidak terkungkung oleh batasan ruang dan waktu. Tidak terikat oleh belenggu jasad. Tidak harus mengalami lapar dan haus serta keruwetan-keruwetan hidup lainnya.

Kita akan memulainya dengan merasakan segala sesuatu milik Allah. Ini bukan sekedar teori. Tapi kenyataan yang kita akan alami dan rasakan sendiri bila sudah mulai memasuki Lembah Suci Thuwa. Sebuah Lembah Suci yang ada sejak manusia ada, suatu tempat yang ada dalam relung terdalam diri kita. Suatu tempat yang hanya diperuntukkan bagi diri pribadi yang suci dengan Allah yang Maha Suci.

Kemudian kita akan merasakan keheningan yang maha hebat, keheningan dari angan-angan dan bayang-bayang hidup yang selalu bermunculan. Keheningan yang maha dahsyat ini membuat keharuan yang luar biasa. Mengapa demikian? Karena dengan gamblang dibukakan hijab oleh Allah, sehingga segala keburukkan dan kebaikan yang pernah kita lakukan tampak tanpa tedeng aling-aling lagi. Kita mengetahuai siap diri kita yang sesungguhnya.

Mulailah kemunculan suasana gelap yang mencekam, tetapi lama kelamaan kegelepan itu semakin lembut dan akrab. Hingga terbitlah sinar dilembah suci tersebut. Nur Cahaya yang mampu menyinari kegelapan. Nur Cahaya kasih dari Robbul izati, yang menyejukkan dan amat menentramkan. Nur Ilahi yang megah dan berkilauan, yang menggoda untuk terus ditelusuri dan diarungi secara intensif. Kegelapan yang ada otomatis hilang. Dan terbukalah hijab sedikit demi sedikit, sehingga tidak ada lagi rahasia yang tersembunyi. Inilah awal perjalanan dari sebuah pengembaraan panjang yang singkat serta mengasyikkan.

“Sesungguhnya Allah memiliki tujuh puluh ribu hijab (penghalang) berupa Cahaya dan kegelapan. Seandainya Dia membukanya, niscaya Cahaya Wajah-Nya akan membakar siapa saja yang melihat-Nya” ( Al-Hadist )

Perjalanan ini pernah diungkapkan oleh seorang Sufi yang menggambarkan tentang kembalinya garam ke samudra-lautan.

“Bertanya garam kepada laut...”Siapakah Aku?.. sambil tersenyum laut menjawab...datanglah kepadaku...! maka kau akan tahu siapa dirimu..” Sang garam pun kemudian datang, dan menceburkan dirinya ke laut...., semakin dalam ia memasuki dasar laut.. ia semakin larut.... sesaat sebelum sang garam yang tinggal setitik debu itu hancur luluh...., ia tersenyum dan menangis bahagia..... ”Sekarang...aku tahu siapa aku.”

Kutipan diatas, mungkin pantas untuk menggambarkan proses pencarian diri pribadi. Setelah sekian lama mencari, akhirnya sang pribadi menemukan apa yang dicarinya selama ini. Sebuah karunia bergelimang Cahaya Ilahi yang terpancar dari pusat semesta diri. Sebuah Pancaran Cinta dan kebijaksanaan yang ternyata ada dalam diri sendiri. Tidak mungkin dapat diungkapkan dengan kata-kata biasa, ia hanya dapat dipahami oleh bahasa qalbu.....dan dialami sendiri.

Kenyataan ini penting untuk disadari, bahwa pengalaman spiritual mutlak dialami bagi mereka yang sedang berjalan mengarungi Lembah Suci Thuwa. Karena ini adalah wilayah rasa, wilayah keasyikan yang tidak hanya dapat dibicarakan dengan kata-kata. Atau diketahui lewat buku-buku atau ceramah-ceramah spiritual. Tapi mutlak harus dialami, sehingga benar merasakan dengan sungguh-sungguh bahwa sang pribadi (Ruh) bersumber dari Sang Maha Pribadi (Maha Ruh).

Inilah Lembah Suci Thuwa yang diarungi dalam sebuah pengembaraan sejati. Sebuah pengenalan sejati antara Ruh dan Maha Ruh. Sebuah pengenalan ulang, akibat keterpisahan yang terjadi saat Ruh diutus ke muka bumi. Sebuah kesaksian kedua setelah di alam arwah ruh kita bersaksi. “Alastu bi rabbikum qollu bala syahidna”. Keterpisahan ruh dengan sang sumber. Disaat ditiupkan kedalam jasad. Sehingga kemampuan dan kesadaran yang dimiliki Ruh harus terkungkung dan dibatasi oleh jasad dengan segala kekurangan dan kelemahannya. Jasad yang memiliki nafsu amarah, lawamah, sufiah dan mutmainah. Nafsu-nafsu yang selalu menghalangi diri pribadi untuk mengenali siapa sang pribadi yang sesungguhnya.

Sebagaimana diawal pembahasan ini, ditampilkan ayat Al Qur’an surat Thaha 20:12, yang bunyinya: “Sesungguhnya Aku ini Tuhanmu, sebab itu tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesugguhnya engkau ada di Lembah Suci Thuwa.” Allah secara langsung mengingikrarkan akan posisinya sebagai Sang Khalik, yang menyatakan Diri-Nya berada di Lembah Suci Thuwa. Oleh sebab itu sebelum jiwa-jiwa memasuki lembah Suci Thuwa. Haruslah menanggalkan terompahnya terlebih dahulu. Terompah adalah sampah dan limbah yang ada di kepala, terompah adalah segala nafsu yang menghalangi kejernihan bathin, terompah adalah ego ke-aku-an manusia. Sebelum memasuki Lembah Suci Thuwa, semua itu harus ditanggalkan. Sebagaimana Allah menginformasikan dalam Al Qur’an :

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntung orang-orang yang mensucikan jiwanya itu, dan merugilah orang yang mengotorinya” (QS. Asy Syams 8-10)

Setelah Jiwa dibersihkan maka Allah menyambutnya: “Salamun qaula mirrobbir rahim” Keselamatan terhatur atasmu dari Allah sang Maha penyayang. Untuk itu haruslah diingat panggilan tersebut bagi jiwa-jiwa yang terpiatu, karena selama ini panggilan itu tidak pernah diindahkan. Jiwa terpiatu dikarenakan selalu memikirkan kebutuhan yang bersifat lahiriah saja, seperti makan, minum, bersolek, bermegah-megahan dalam Anak, Istri, Sanak saudara serta harta kekayaan, selalu mengedepankan ego pribadi ketimbang mengikuti panggilan jiwa. Sehingga melupakan kebutuhan ruhani, yaitu kebutuhan jiwa yang selalu merindui akan kembalinya kepada sang Maha Jiwa. Kemudian Allah menyeru kepada jiwa-jiwa yang tenang; “Ya ayuhal nafsul mutmainah irji’i ila rodiatan mardiah” Hai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Allah dengan keridhoan yang diridhoinya.

Sungguh indah, seruah-seruan tersebut. Tetapi mengapa begitu banyak dari kita tetap tidak mengaindahkan seruan tersebut? Semua itu dikarenakan hati kita yang sudah mati, hati kita sudah buta dan tuli.

“Maka sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada” (QS. Al Hajj 22:46)

“Dan siapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat kelak buta juga dan lebih sesat jalannya” (QS. Al Isra 17:72)

Marilah bersama, dengan tekad yang membaja. Kembali kefitrah asli kita. Fitrah Ruh yang berkecenderungan untuk mengenal Sang Maha Ruh. Fitrah diri sejati untuk bermakrifat kepada Sang Khalik. Dengan mengikuti kecenderungan fitrah sejati kita, maka tidak ada lagi kegelisahan yang menghadang hidup ini. Dikarenakan kita sudah berjalan sesuai dengan garisan yang telah ditetapkan Allah.

Bagi Para sahabat sepengembaraan, marilah arungi relung-relung Cahaya Ilahi. Marilah menjelajahi Lembah Suci Thuwa yang telah diwariskan itu. Sebuah warisan keramat ilahi. Dengan semakin akrabnya mengarungi Lembah Suci Thuwa, maka akan terbitlah suasana Cinta yang Maha Dahsyat. Kekuatan Cinta yang mampu menarik kuat untuk terus menjelajahi pesona ini. Terbitlah sebuah perasaan yang amat terpuaskan terhadap segala sesuatu yang datang dan pergi dalam hidup ini. Karena semua yang datang dan pergi pada hakikatnya karunia Tuhan yang patut kita syukuri.

Marilah saudaraku......kita arungi pesona ini dengan senang hati. Lembah Suci Thuwa nan abadi.....

Dalam tenang, senang itu datang
Dalam senang, semua ingin terpuaskan

Dalam ingin, semuanya tak terkatakan


Sembari sunyi, memasuki Lembah Thuwa

Sembari Suci, tanggalkan terompah dimuka
Sembari Puji, disambut Tuhan Sang Maha Indah

Hanya yang berhaklah yang menerima;
Lembah Thuwa nan Suci,

Warisan Keramat Ilahi

Mendapat Karunia yang hakiki
‘Tuk bekal Jiwa kembali


Sabtu, 26 Juli 2008

Musik, Islam dan Peningkatan Spiritualitas

Kalau kita berbicara masalah Musik secara umum, itulah bahasa universal yang saat ini diterima seluruh dunia, seluruh agama dan golongan manapun. Karena musik bahasa rasa yang bisa membawa pesan apapun termasuk pesan perdamaian. Tetapi kalau kita kaji lebih dalam dan mulai masuk kepada pembahsan yang lebih serius, apalagi bila dihubungkan antara musik dan Islam, sebagai agama mayoritas di negeri kita ini. Maka akan bermunculan pro dan kontra. Memang pada dasarnya pro dan kontra ini telah terjadi sejak jaman Nabi Muhammad Saw ada. Pada kesempatan ini, kita akan mengulas kaitan antara Musik, Islam dan Peningkatan Spriritualitas yang dapat menambah dan meningkatkan tingkat kedekatan (taqarub) dan kesadaran kita terhadap Sang Pencipta.

Musik biasanya tidak terlepas dari syair atau lagu dalam setiap gubahannya. Kebanyakan dari kita menyebut sebagai sebuah nyanyian. Secara umum nyanyian adalah perpaduan antara syair dan nada. Kalaulah sebuah syair/lagu dibacakan dengan nada seperti membaca sebuah buku atau sajak, maka tidaklah dia dinamakan sebagai sebuah nyanyian. Bernyanyi adalah mengeluarkan suara yang di dalamnya terdapat nada-nada tertentu yang tersusun, seiring dengan itu diletakkanlah nada-nada tersebut pada syair/lagu. Maka jadilah dia sebuah nyanyian.

Bila sebuah nyanyian disampaikan dengan suara yang merdu, disebutlah dia nyanyian yang merdu. Tetapi apabila sebuah nyanyian disampaikan dengan suara yang sumbang, disebutlah dia nyanyian yang sumbang/buruk. Suara yang merdu adalah anugrah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Rasulullah bersabda :

“Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengutus seorang Nabi melainkan pasti suaranya bagus” (HR. Tirmidzi)

Suara yang merdu itu dapat berpengaruh kepada jiwa mahluk hidup. Kalau demikian, bagaimana seorang anak dapat diam dari tangisannya ketika mendengar suara sang ibu mendendangkan sebuah lagu kepadanya. Itulah sebabnya sejak zaman purbakala sampai zaman modern ini manusia mengenal banyak jenis nyanyian.

Sebenarnya lagu dan syair itu telah ada pada setiap bangsa di dunia ini di segala zaman. Rasanya mustahil memusnahkan lagu dan syair dari kehidupan manusia yang beradab. Karena itulah kenapa Rasulullah tidak mengharamkan dan memusnahkan keduanya dalam risalah yang beliau bawa. Di dalam tilawah Al Qur’an, sunnat hukumnya menggunakan suara yang merdu. Rasulullah pernah memuji Abu Musa al Asy’ari, ketika beliau membaca Al Qur’an, “Sesungguhnya telah diberikan kepadanya seruling dari seruling-seruling keluarga Daud” (HR. Bukhari). Adapun, mendengar suara yang bagus pada selain tilawah Al Qur’an didalam hukum Islam adalah Mubah (diperbolehkan). Kalaulah tidak demikian adanya, niscaya menjadi haramlah juga mendengar suara kicau burung murai, nuri dan perkutut yang merdu itu.

Namun demikian, bila mendengarkan suara-suara yang merdu itu menyebabkan hati menjadi lalai dari mengingat Allah, maka bukan dari segi mendengarkannya itu yang diharamkan, akan tetapi adalah dari hal yang membuat lalainya itulah yang haram (dilarang).

Allah berfirman dalam surat Al Mukminun ayat 3:

“(Dan orang-orang yang beriman yang memperoleh kemenangan itu adalah) orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (sia-sia)”.

Yang paling masyur mengenai nyanyian ini adalah riwayat yang menceritakan bahwa para wanita Madinah (kaum Anshor) naik ke atas rumah-rumah mereka serta memukul rebana dan bernyanyi untuk menyambut kedatangan Rasulullah Saw, pada saat Hijrah dari Kota Mekkah ke Kota Madinah.

Thola’al Baddru ‘alaina, min tsaniyatil wada’i, wajaba syuk’ru ‘alaina, mada’a lilahi da’i

Artinya : “Telah terbit purnama raya pada kami, dari bukit Tsaniyatil Wada, wajiblah kami bersyukur, apa yang diserukan oleh Penyeru" (HR. Bukhari Muslim).

Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang membolehkan umat Islam melantunkan syair atau lagu sambil diiringi nada/musik yang merdu. Yang terpenting disini adalah semua kegiatan tersebut tidak membuat kita lalai dari mengingat Allah.

MUSIK DAN SPIRITUALITAS

Kemudian kita beranjak pada pemahaman tentang musik yang lebih universal dalam hubungannya dengan spiritualitas. Musik sesunguhnya adalah kumpulan nada-nada dasar (7 nada dasar) yang dirangkai secara harmoni sehingga menghasilkan komposisi yang merdu dan nikmat didengar dikarenakan adanya harmonisasi dari ketujuh nada dasar tadi. Dalam setiap nada dasar akan menghasilkan sebuah frekwensi (getaran) yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang.

Untuk itulah banyak aliran spiritual menggunakan musik sebagai salah satu sarana untuk mempengaruhi kejiwaan para anggotanya untuk lebih fokus, khusuk dan bisa masuk kedalam dirinya. Karena setiap manusia normal dapat mendengar melalui kedua telinganya. Karena Telinga adalah salah satu dari jendela Qalbu, di samping mata dan panca indera yang lainnya. Dengan demikian, segala sesuatu yang didengar oleh telinga akan memberikan pengaruh pada qalbunya. Itulah sebabnya Allah Swt kelak akan meminta pertanggung jawaban pendengaran ini.

“............ Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al Isra’ 17 :36)

Melihat begitu pentingnya pengaruh bunyi-bunyian terhadap qalbu manusia, para spiritualis menggunakan musik sebagai sarana untuk mempercepat peningkatan spiritual. Mengapa hal ini dilakukan? Karena secara ilmu pengetahuan ilmiah, manfaat musik atau bunyi-bunyian ini telah diteliti dan dibuktikan secara ilmiah. Dalam dunia teknologi bunyi, suara yang dihasilkan oleh suatu alat musik tertentu akan menghasilkan frekuensi dan gelombang tertentu yang dapat ditangkap oleh manusia. Batas frekuensi suara adalah 20 Hz s/d 20.000 Hz, namun demikian tiap orang, mempunyai kemampuan berbicara, bernyanyi dan berteriak, pada batas frekuensi yang berlainan (tinggi-rendah), serta memiliki batas pendengaran yang berbeda. Secara umum batas itu menjadi bertambah sempit, yaitu antara 200 Hz s/d 800 Hz. Sedangkan batas toleransi frekuensi bicara pada anak dan wanita 800 Hz, laki-laki dewasa 259 Hz dan batas frekuensi alat-alat musik lebih luas lagi, bahkan tak terbatas. Sedangkan untuk berkomunikasi melalui udara dibutuhkan frekuensi 100 Mhz s/d 5 Ghz pada radio. Pada kapal selam yang berkominikasi melalui air, frekuensi yang dipakai adalah frekuensi sonar (ultrasound – 2Khz s/d 100 Khz).

Nah inilah penemuan terbaru dalam dunia ilmu pengetahuan. Bahwa untuk berkomunikasi dan transfer energi melalui jaringan syaraf maka frekuensinya akan mengikuti frekuensi atau getaran dari pusat syaraf (otak) yaitu antara 0 Hz s/d 50 Hz. Karena dengan ditemukannya alat EEG (Electro Enchephalo Graph), maka otak dengan system syaraf Neuron yang ada didalamnya dapat diukur kadarnya. Mulai dari getaran listrik yang terjadi diotak dan berapa frekuensinya.

Para ahli Neurologi kemudian membagi gelombang di pusat syaraf otak itu menjadi 4 kelompok serta pada kondisi apa gelombang itu bekerja:

  1. Gelombang BETA (14-30 Hz). Pada saat sadar, konsentrasi penuh dan serius, dalam kehidupan sehari-hari, berjalan, berlari, makan, minum dan seterusnya.
  2. Gelombang ALPHA (8-13,9 Hz). Pada keadaan rileks dan santai, antara sadar dan tak sadar, mulai merasa mengantuk, yang biasanya tubuh mengeluarkan hormon seratonin dan endoprim, yaitu hormon yang biasanya membuat mengantuk dan membuat tubuh santai, pada saat mulai mau tidur.
  3. Gelombang THETA (4-7,9 Hz). Masuk kedalam keadaan “tidur REM” (Repeat Eye Movement – Kelopak mata bergetar), dalam keadaan trance, meditasi, kreatifitas tinggi, mulai mengalami mimpi dan sebagainya.
  4. Gelombang DELTA (0,1-3,9 Hz). Tidur paling lelap atau tidur dalam, hormon ditubuh bekerja paling minimal, hilang kesadaran secara total, berada dalam ketaksadaran.

Inilah dasar yang digunakan para terapis atau para ahli spiritual untuk membimbing dalam peningkatan spiritual. Dengan menggunakan musik yang lembut, mendayu dan sebagainya dapat membawa seorang pelaku spiritual masuk kedalam diri mereka lebih cepat, lebih khusuk, lebih dalam dan damai. Musik-musik instrumen yang membawa otak meninggalkan gelombang BETA menuju gelombang ALPHA, bahkan THETA.

Jadi dapat ditarik kesimpulan dari uraian singkat ini, bahwa musik dapat membantu seseorang untuk mencapai peningkatan spiritual dan musik dalam dunia Islam tidak bertentangan dan bahkan dibolehkan oleh Nabi Muhammad Saw, sejauh kegiatan tersebut tidak berlebihan dan melalaikan diri dari mengingat Allah. Mudah-mudahan Uraian ini ada manfaatnya. Selamat menikmati musik yang membawa diri kita semakin fokus mengarungi khasanah spritualitas diri.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More